Tyasno: Keluar Dari NKRI Bukan Pilihan Tepat

×

Tyasno: Keluar Dari NKRI Bukan Pilihan Tepat

Sebarkan artikel ini

Ketua Umum Majelis Luhur Taman Siswa Jenderal (purn) Tyasno Sudarto mengatakan, pemikiran keluar dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) bila pemerintah pusat tidak mengikuti kemauan masyarakat DIY terkait keistimewaan bukan pilihan tepat. <p style="text-align: justify;">"Pemikiran itu justru pemikiran yang berbahaya, karena bisa memunculkan negara-negara federal di Indonesia," kata Tyasno saat Sarasehan Kebangsaan Yogyakarta Istimewa untuk Indonesia di Gedung Widyamandala Yogyakarta, Minggu (16/01/2011). <br /><br />Menurut dia, pilihan yang justru tepat untuk dilakukan dalam menyikapi pemerintah pusat apabila tidak mengikuti kemauan masyarakat Yogyakarta adalah meminta pemerintah pusat untuk turun. <br /><br />"Ini saya pertanggungjawabkan. Siapa yang tidak menghargai keistimewaan Yogyakarta berarti tidak memahami sejarah, pihak tersebut juga tidak memahami budaya, tidak mengerti tentang NKRI," kata Tyasno. <br /><br />Masyarakat Yogyakarta juga perlu terus menggalang kesatuan dan persatuan sehingga tidak mudah terprovokasi oleh isu-isu yang nantinya justru akan membuat perpecahan, karena sudah banyak intrik masuk yang berusaha memecah masyarakat Yogyakarta. <br /><br />Mantan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) itu juga mengingatkan bahwa mengusik-usik keistimewaan Yogyakarta, sama halnya dengan bermain pisau bermata dua, yaitu mengubah demokrasi Pancasila dengan demokrasi liberal, sedang sisi lainnya adalah menjadikan negara-negara federal di Indonesia. <br /><br />Di dalam demokrasi Pancasila, lanjut Tyasno, sebuah keputusan tidak harus dilakukan berdasarkan pemilihan, namun semua keputusan dilakukan berdasar musyawarah mufakat dari seluruh masyarakat. <br /><br />Hal ini seperti halnya dalam penetapan Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) dan Sri Paduka Paku Alam (PA) yang bertahta sebagai gubernur dan wakil gubernur. <br /><br />"Itu sudah merupakan hasil permufakatan dari masyarakat, sehingga tidak perlu lagi diusik-usik," katanya. <br /><br />Keistimewaan DIY, lanjut dia juga tidak hanya sekadar sejarah tetapi juga mempertahankan ide, falsafah, kepribadian bangsa sebagai landasan NKRI. <br /><br /><strong>Kepentingan nasional </strong><br /><br />Sementara itu, kerabat Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat GBPH Joyohadikusumo mengatakan, masyarakat Yogyakarta termasuk raja dari Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat tidak pernah berkhianat kepada NKRI, termasuk saat terjadi tatanan pemerintahan di Indonesia pada masa reformasi 1998. <br /><br />"Pada 20 Mei 1998, masyarakat Yogyakarta melakukan pisowanan agung untuk menyikapi kepentingan nasional," katanya. <br /><br />Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat, lanjut dia, juga menyatakan mendukung dan bergabung dengan Indonesia pasca Soekarno-Hatta menyampaikan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. <br /><br />GBPH Joyohadikusumo kemudian menjelaskan bahwa sejak bergabung dengan Indonesia, Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat adalah bersifat kerajaan dan bukan berbentuk kerajaan dan di dalamnya terdapat dua birokrasi yaitu pemerintahan dan budaya. <br /><br />Pemerintahan dalam konteks keistimewaaan tersebut dipegang oleh kepala daerah yang tidak memegang batas masa jabatan termasuk cara pengisiannya dan hubungan antara provinsi dan negara adalah bersifat langsung sehingga bertanggung jawab kepada presiden. <br /><br />Sedangkan birokrasi budaya terletak di keraton dan hingga kini kehidupan budaya tersebut masih tetap terjaga. <br /><br />Keputusan untuk bergabung dengan Indonesia tersebut, lanjut dia, juga ditujukan agar masyarakat Yogyakarta memiliki tingkat kesejahteraan yang sama dengan bangsa lainnya. <br /><br />"Jika sekarang Yogyakarta belum sejahtera seperti bangsa lain, maka Sultan akan tetap memimpin masyarakat untuk capai kesejahteraan," katanya. <strong>(phs/Ant)</strong></p>

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.