PETI Diberantas, Lidya: Kasus HGU yang Rampas Hak Rakyat Perlu Juga Diperhatikan

oleh
Anggota DPRD Kalbar Dapil 7, Lidya Natalia Sartono

PONTIANAK,KN  – Anggota DPRD Kalbar Dapil 7, Lidya Natalia Sartono, merespons keras sikap Penjabat (Pj) Gubernur Kalimantan Barat, Harisson dukung Kapolda Kalbar, Irjenpol Pipit Rismanto yang akan memberantas Penambangan Emas Tanpa Izin (PETI) di wilayah Kalbar.

Respons tersebut diungkap Lidya lantaran dinilainya adanya ketidakadilan yang menyasar pada kebutuhan dan keberlangsungan hidup masyarakat akar rumput.

Lidya menyebut, persoalan PETI harus sejalan dengan persoalan (Hak Guna Usaha (HGU) yang merenggut hak-hak masyarakat lokal yang hingga saat ini tidak menemui titik terang.

Lidya menegaskan dampak HGU menimbulkan masalah karena potensi terjadinya konflik dengan masyarakat adat atau pemilik sebelumnya yang mungkin tidak terlibat dalam proses pemberian HGU.

“Hal ini dapat mengakibatkan kerugian sosial dan budaya bagi masyarakat setempat, serta merusak hubungan antara pemegang HGU dan masyarakat sekitarnya. Jadi kita perlu mengedepankan prinsip keadilan dan kesetaraan, jangan masyarakat terus yang jadi korban,” tegasnya, Minggu malam (7/7/2024)

Politisi NasDem itu menceritakan bahwa hampir semua wilayah di Kalimantan Barat seperti di Dapil 7 Kalbar adalah rata-rata zona merah untuk hutan lindung dan sebagainya.

Zona merah ditetapkan pemerintah bahwa kawasan tersebut adalah kawasan lindung, hutan produksi dan lain sebagainya, maka secara aturan kawasan tersebut tidak bisa disentuh. Sementara tanah yang bisa dimanfaatkan untuk berkebun dan beladang oleh masyarakat ternyata sudah di HGU oleh perusahaan bahkan dilakukan tanpa permisi, maka masyarakat terdampak tidak bisa lagi beraktivitas seperti berkebun dan berladang karena dilarang perusahaan.

“Jika Pihak kepolisian Kalbar termasuk PJ Gubernur ingin menertibkan PETI dengan alasan faktor kerusakan ekologis dan pencemaran maka harus diiringi dengan penertiban HGU yang sudah mengkebiri hak-hak masyarakat karena HGU merampas masa depan masyarakat juga,” tegasnya.

Lidya menilai, penggunaan HGU yang berlebihan dapat menimbulkan kerusakan lingkungan, seperti deforestasi, degradasi tanah, pencemaran air, dan hilangnya keanekaragaman. Hal ini dapat mengancam keberlangsungan ekosistem dan mempengaruhi keseimbangan alam serta kesejahteraan masyarakat yang bergantung pada sumber daya alam tersebut.

“Ini saya mendapat keluhan dan protes dari masyarakat akar rumput. Kita perlu membahasnya secara serius karena PETI adalah dampak dari hilangnya mata pencaharian masyarakat seperti tanah untuk berladang dan berkebun yang telah dirampas karena di HGU oleh perusahaan tanpa permisi,” ujarnya.

Dirinya meminta agar persoalan tersebut mengedepankan keadilan agar masyarakat tidak menjadi korban dan mencegah potensi pengangguran serta kemiskinan.

“Maka, larangan untuk PETI harus selaras dengan solusi yang adil. Memberantas PETI juga harus selaras dengan persoalan lain, seperti HGU yang dimana korbannya adalah masyarakat akar rumput. Hak ulayat yang telah direnggut perusahaan, mereka minta kembali tapi tidak diberi, mau apa makan masyarakat nanti,” imbuhnya.

Sementara terkait alasan penertiban PETI yang merusak lingkungan, Lidya tidak menyangkal bahwa dirinya mendukung adanya upaya penegak hukum dan pemerintah yang peduli terhadap isu lingkungan.

“Saya salah satu warga Kalbar yang mendukung kebijakan pemerintah dalam menjaga kelestarian lingkungan. Tapi fakta di lapangan itu berbeda, jika kita telisik, aktor utama dari kerusakan lingkungan biangnya adalah pemerintah yang tidak memberikan izin kepada masyarakat yang ingin mendapatkan izin tambang rakyat. Saya dengar ada warga yang berniat membuat tambang rakyat, hal ini tentu harus mendapat izin, tetapi sangat susah mendapat izin tersebut. Jadi dimana keadilan untuk rakyat,” tuturnya