Menjadi Komoditi Unggulan Kalbar, Sejahterakah Petani Karet ?

oleh
oleh

Oleh Nurhidayatul Fitri

Provinsi Kalimantan Barat atau biasa disingkat Kalbar merupakan sebuah provinsi yang terletak di bagian barat pulau Kalimantan yang sebagian besar wilayahnya merupakan daratan berdataran rendah dengan luas 146.807 km2 atau 1,13 kali luas pulau Jawa. Provinsi Kalimantan Barat merupakan provinsi terbesar keempat setelah Irian Jaya, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Tengah.

Daerah yang termasuk Provinsi Seribu Sungai ini juga merupakan daerah yang tepat dilalui oleh garis khatulistiwa (tepatnya di Kota Pontianak). Karena pengaruh letaknya ini, Kalbar merupakan salah satu daerah tropis dengan suhu udara dan kelembaban yang cukup tinggi, dan karena faktor tersebut menyebabkan banyaknya keanekaragaman hayati di daerah ini.

Salah satu komoditas utama Kalbar adalah perkebunan kelapa sawit dan karet. Ya, Kalimantan merupakan salah satu daerah penghasil kelapa sawit dan karet terbesar di Indonesia, kebakaran hutan yang seperti kita ketahui rutin terjadi tiap tahun di Kalimantan mayoritas merupakan akibat dari pembakaran hutan untuk perluasan lahan kelapa sawit dengan cara yang ilegal. Sedangkan karet merupakan komoditas unggulan kedua di Kalbar setelah kelapa sawit.

Pada dasarnya karet sudah lebih dulu ditanam di Kalbar dan masyarakat juga banyak yang bekerja sebagai penyadap karet, akan tetapi pada tahun 2008 ketika bisnis kelapa sawit mulai masuk ke Kalbar dan berkembang pesat, maka banyak lahan karet yang dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit karena iming-iming bahwa kelapa sawit lebih menjanjikan dibanding karet.

Hal tersebut seperti benar adanya karena berdasarkan data BPS Provinsi Kalimantan Barat, luas lahan dan jumlah produksi kelapa sawit lebih unggul dibanding karet, namun kita tidak bisa menyepelekan karet, karena karet juga merupakan komoditi ekspor unggulan Kalbar maupun Indonesia.

Pengembangan perkebunan karet mempunyai peluang yang cukup besar di Kalbar, hal ini dapat dilihat dari ketersediaan lahan dan kondisi cuaca yang mendukung pertumbuhan tanaman karet.Perkebunan karet dibedakan menjadi Perkebunan Besar dan Perkebunan Rakyat. Perkebunan besar adalah perkebunan yang dikelola secara komersial oleh perusahaan yang berbadan hukum, sedangkan perkebunan rakyat adalah perkebunan yang dikelola oleh rakyat/pekebun.

Berdasarkan data yang diperoleh dari publikasi BPS Provinsi Kalimantan Barat, luas tanam karet pada perkebunan besar tahun 2018 meningkat sekitar 16,43 persen dibandingkan tahun 2017 yaitu dari 5.013 ha menjadi 5.837 ha, sedangkan pada perkebunan rakyat, luas tanamnya hanya meningkat sekitar 0,1 persen yaitu dari 598.651 ha menjadi 599.232 ha.

Walaupun peningkatan luas tanam perkebunan rakyat sangat kecil dibanding perkebunan besar, namun perkebunan karet di Kalbar didominasi oleh perkebunan rakyat, hal ini bisa jadi karena perkebunan besar lebih fokus pada perkebunan kelapa sawit, dibuktikan dengan luas tanam kelapa sawit perkebunan besar dua kali lebih banyak dibandingkan dengan luas tanam kelapa sawit pada perkebunan rakyat.

Sedangkan produksi karet secara keseluruhan dari tahun 2017 ke 2018 mengalami penurunan sekitar 1,72 persen yaitu dari 270.180 ton menjadi 265.542 ton. Produksi karet hasil perkebunan rakyat berfluktuasi tipis dari tahun 2014-2018, namun dari tahun 2017 ke 2018 mengalami penurunan.

Prospek pemasaran komoditas karet juga sangat baik, hal ini dapat dijelaskan dari permintaan untuk produk karet di luar negeri cukup besar, dilansir dari redaksi Tribun Pontianak, Kabid Statistik Distribusi BPS Provinsi Kalbar pada Selasa (1/10/2019) menyatakan bahwa per Agustus 2019, Karet dan Barang dari Karet menduduki peringkat 4 sebagai komoditi unggulan ekspor dan berkontribusi sebesar 6,43 persen dari total nilai ekspor Kalimantan Barat per Agustus 2019.

Sebagian besar produksi karet Indonesia diekspor keluar negeri. Namun, apakah petani karet sejahtera karena sumber mata pencaharian mereka merupakan produk ekspor ? jawabannya adalah tidak juga. Mengapa ? karena karet merupakan produk ekspor maka sangat dipengaruhi oleh harga internasional sehingga berdampak ke harga jual petani. Salah satu indikator untuk melihat kemampuan/daya beli petani adalah Nilai Tukar Petani (NTP). NTPperkebunan di Kalbar dari tahun 2017 ke 2018 mengalami penurunan yaitu dari 97,89 menjadi 94,44 dimana NTP < 100 berarti NTP pada suatu periode tertentu menurun dibandingkan NTP pada tahun dasar, dengan kata lain petani mengalami defisit. Kenaikan harga produksi relatif lebih kecil dibandingkan dengan kenaikan harga barang konsumsinya. Pendapatan petani turun dan lebih kecil dari pengeluarannya. Hal tersebut didukung oleh pernyataan salah satu petani karet di Kabupaten Sambas, Dolah yang dilansir melalui redaksi Pro Kalbar pada 22 Juni 2019 bahwa harga karet naik seribu rupiah dari sebelumnya, dimana sebelumnya karet basah dihargai Rp8 ribu menjadi Rp9 ribu per kilogramnya, bahkan harga karet di petani sempat anjlok Rp4 ribu perkilogram, hal itu menyebabkan petani sangat merasa terpukul apalagi bagi petani yang bekerja hanya sebagai penyadap, dan yang mata pencaharian utamanya adalah karet. Penyebab anjloknya harga karet akhir-akhir ini dikarenakan anjloknya harga karet dipasar global sehingga diadakan pertemuan bersama dua negara penghasil karet terbesar lain yaitu Thailand dan Malaysia pada pertemuan International Tripartite Rubber Council (ITRC) di Thailand pada 22 Februari 2019, dan disepakati bahwa akan mengurangi volume ekspor karet. Harga karet memang membaik setelah itu, namun masalah yang kembali menghampiri petani adalah lahan karet diserang penyakit gugur daun atau Pestalotiopsis spyang secara tidak langsung diakibatkan oleh pembatasan ekspor karet, sehingga pendapatan petani kecil, lalu tidak mampu mengeluarkan biaya untuk perawatan pohon karet. Apalagi perkebunan karet sebagian besar dimiliki oleh petani/rakyat, maka imbasnya sendiri adalah pada kesejahteraan petani. Sebagai komoditas ekspor unggulan, hal ini harusnya menjadi bahan evaluasi bagi pemerintah dan pihak berwenang, untuk memperhatikan kesejahteraan petani juga, mungkin dengan meningkatkan konsumsi karet dalam negeri atau pemberian subsidi untuk mengatasi serangan penyakit yang menyerang tanaman karet, atau dengan kebijakan lainnya sehingga dapat meningkatkan ekspor daerah dan juga meningkatkan kesejahteraan petani karet kedepannya. (*) Sumber data : Provinsi Kalimantan Barat dalam angka 2019, Laporan Tahunan Direktorat Jenderal Perkebunan Tahun 2018