Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Kalimantan Tengah (Kalteng) menilai konflik aparat Desa Biru Maju Kecamatan Telawang Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim) dengan PT Buana Artha Sejahtera (BAS) menjadi bukti ketidakadilan di daerah tersebut. <p>Manager Advokasi dan Kampanye WALHI di Palangka Raya, Fandi, Kamis, mengatakan, setelah Kepala Desa Biru Maju divonis Pengadilan Negeri Sampit selama delapan bulan penjara, kini giliran Sekertaris Desa (Sekdes) Biru Maju, Mulyani Handoyoi menghadapi keatidakadilan.<br /><br />Ini sebuah ketidakadilan bagi masyarakat dalam memperjuangkan hak atas tanahnya di Sampit. Masyarakat menghadapi konflik atas tanah tidak bersentuhan dengan ketidakadilan sejak dari proses penangkapan hingga proses pengadilan dilakukan.<br /><br />"Bapak Mulyani Handoyo sejak awal sudah di tetapkan sebagai tersangkadan di tahan Kepolisian Resort (Polres) Kotim karena telah melanggar UU Perkebunan Pasal pasal 47 ayat (1) Jo pasal 21, tanpa melalui keterangan awal yang cukup," katanya.<br /><br />Ketika pasal ini dicabut oleh Mahkamah Konstitusi seharusnya dengan sendirinya akan menggugurkan tuduhan terhadap bapak Mulyani, namun hingga pelimpahan berkas kepihak kejaksaan pasal tersebut masih tetap digunakan untuk menahan terdakwa, tambahnya.<br /><br />Menurutnya, pada 18 oktober 2011, Mulyani baru mendapat surat pelimpahan dengan menggunakan pasal baru yaitu pasal 362 KUHP tentang pidana pencurian.<br /><br />Indikasi perubahan pasal ini menjadi dugaan aparat kepolisian dan kejaksaan sengaja mengubah pasal untuk menjerat Mulyani dan ditetapkan sebagai tersangka dengan menggunakan satu Berkas Acara Pemeriksaan (BAP) dengan pasal yang berbeda.<br /><br />"Saat ini kasus kriminalisasi yang dihadapi Sekdes telah menjalani sidang pertama, namun tindakan tidak profesional masih terus dijalankan dimana terdakwa tidak mendapat pemberitahuan adanya sidang, pemberitahuan sidang disampaikan hanya beberapa jam sebelum sidang dilaksanakan," tegasnya.<br /><br />Terdakwa tidak sempat mempersiapkan eksepsi dan kesempatan menghubungi pengacara, padahal dalam ketentuan KUHAP terdakwa harus mendapatkan surat undangan sidang minimal tiga hari sebelum sidang dijalankan.<br /><br />"Hal ini tentunya telah merampas hak terdakwa yang dilakukan oleh jaksa yang menangani kasus ini. Kami pesimis pengadilan ini akan berjalan secara adil, karena sejak proses awal sudah dilakukan dengan mengabaikan hak-hak terdakwa," tandasnya.<br /><br />Ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang telah dikesampingkan oleh aparat penegak hukum dan tentunya hal ini akan berimplikasi pada keputusan dalam persidangan.<br /><br />Hal ini sangat beralasan, karena peristiwa konflik perkebunan sawit dengan masyarakat lokal/adat yang dikriminalisasi melalui proses persidangan sejak Januari 2011 terdapat delapan kasus yang diputuskan di persidangan selalu divonis masyarakat bersalah.<br /><br />"Sementara pihak perusahaan sebagai pihak yang diuntungkan, bahkan tidak pernah tersentuh hukum. Padahal, mereka juga melakukan tindakan yang melanggar hukum seperti PT BAS yang menduduki kawasan hutan diduga secara ilegal karena beroperasi di kawasan hutan tanpa izin pelepasan kawasan hutan dari Menteri Kehutanan dan tanpa Hak Guna Usaha (HGU)," ucapnya. (das/ant)</p>