KETERTINGGALAN BUKAN MENJADI ALASAN UNTUK MENGGAPAI MIMPI BAGI SUKU ANAK DALAM

oleh
oleh

ARTIKEL – Suku anak dalam yang dikenal dengan orang rimba adalah suku asli penghuni hutan di pulau Sumatra,pengacuan rimba mengacu kepada tempat mereka yang tinggal di pulau Sumatra. Ada banyak persi cerita dan kajian yang mendasari tentang keberadaan asal usul suku anak dalam yang masih dirundung meisteri namun, jatna supriatna biolog dan perjuangan konservasi,Di dalam bukunya yang berjudul melestarikan Alam Indonesia,menegaskan asal usul suku anak dalam ini belum jelas.hal senada juga di ucapkan pandong spenra,aktivis lingkungan yang telah membina suku anak dalam di dhamasraya,sumatra barat 2010
Suku anak dalam juga memiliki ragam tradisi sama seperti suku pada umumnya yang berkaitan erat dengan adat istiadatnya.salah satunya malungun yang berkaitan dengan kematian orang terdekatnya terutama bagi keluarga yang di tinggalkan. Tradisi ini juga kerap di gunakan untuk melupakan kesedihan. Dan uniknya dalam tradisi ini mereka akan meninggalkan tempat tinggalnya dalam waktu cukup lama bahkan para leluhur suku anak dalam bisa pergi selama 10 sampai 20 tahun lamanya. Ada juga tradisi blase yang di artikan kegiatan duduk bersama untuk memohon kepada yang maha kuasa. Tradisi blase akan di laksanakan pada malam hari yang di pimpin oleh orang yang di segani, Toko ini harus. memiliki kemampuan lebih. Terutama untuk berkomunikasi dengan alam gaib dalam tradisi ini biasanya suku anak dalam membuat bunyi bunyian dari alat musik tradisional redab (gendang melayu) dan tari tarian khas yang bersifat sakral. Suku Anak Dalam atau Orang Rimba ini adalah salah satu suku bangsa minoritas yang hidup di Pulau Sumatra, terutama di daerah Palembang, Riau, dan Jambi. Namun, mayoritas keberadaan suku ini banyak terdapat di wilayah Jambi.Survei Komunitas Konservasi Indonesia (WARSI), pada 2004, menyatakan jumlah keseluruhan Suku Kubu ada sekitar 1.542 jiwa. Mereka menempati hutan yang kemudian dinyatakan kawasan Taman Nasional Bukit Dua Belas (TNBD), terletak di perbatasan empat kabupaten, yaitu Batanghari, Tebo, Merangin, dan Sarolangun. Hingga 2006, paling sedikit terdapat 59 kelompok kecil Suku Kubu. Beberapa ada yang mulai hidup dan menyatukan diri dengan kehidupan desa sekitarnya. Namun, sebagian besar masih tinggal di hutan dan menerapkan hukum adat sebagaimana nenek moyang mereka.

Selain di TNBD, kelompok Orang Rimba juga tersebar di tiga wilayah lain, Populasi terbesar terdapat di Bayung Lencir, Sumatra Selatan, sekitar 8.000 orang. Mereka hidup di sepanjang aliran anak sungai seperti anak Sungai Bayung Lencir, Sungai Lilin, dan Sungai Bahar. Ada juga yang hidup di Kabupaten Sarolangun, sepanjang anak Sungai Limun, Batang Asai, Merangin, Tabir, Pelepak, dan Kembang Bungo, jumlahnya sekitar 1.200 orang. Lalu kelompok lainnya menempati Taman Nasional Bukit Tigapuluh, tercatat sekitar 500 orang.Kehidupan suku ini terkenal dengan kebiasaan hidup yang terisolasi dari dunia luar sehingga dari segi budaya ataupun kebanyakan dari mereka masih sangat orisinal, bahkan bisa dibilang primitif. Selain itu, Suku Kubu yang menggantungkan hidupnya di hutan, kini kelestariannya sedang terancam akibat maraknya pembukaan hutan untuk lahan perkebunan kelapa sawit di sekitar wilayah tempat tinggalnya.

Kelompok masyarakat terasing yang bermukim di sekitar pegunungan duabelas Jambi menyebut diri Orang Rimba yang dibedakan dengan masyarakat luar, yang disebut orang terang. Suku Anak Dalam juga merupakan sebutan diri yang mereka senangi, dan mereka sangat marah jika disebut orang Kubu, sebutan itu dianggap merendahkan diri mereka.
Dalam percakapan antar warga masyarakat Jambi tentang orang Kubu tercermin dari ungkapan seseorang yang menunjukan segi kedudukan dan kebodohan, misalnya membuang sampah sembarangan diumpat “Kubu kau….!”. Sebutan lain yang disenangi orang rimba ialah “sanak”, yaitu cara memanggil seseorang yang belum kenal dan jarang bertemu. Bila sudah sering bertemu maka panggilan akrab ialah “nco” yang berarti kawan. Namun sekarang suku anak dalam sudah bersosialisasi dengan masyarakat yang ada di kabupaten dharmasraya. Dimana SAD yang sebelumnya tidak pakai Baju sekarang sudah pakai baju bahkan sekarang sudah ikut Upacara Bendera dalam rangka 17 Agustus.

Didalam pemerataan pendidikan suku anak dalam ini, khususnya di Kabupaten Sarolangun, Bukit Dua Belas ejauh ini, pendidikan pada suku anak dalam, sebagian besar masih ditopang oleh para relawan. Sebagian (kecil) bahkan masih belum tersentuh pendidikan, sehingga sangat butuh perhatian bersama.Pada saat ini memang anak anak rimba ini sudah berbaur dengan pendidikan di sekolah formal, namun dengan jumlah yang terbatas dan semangat belajar yang kurang sebagai mana siswa pada umumnya, di karenakan pola pikir yang masih belum berubah mengenai hidup cukup hanya berburu atau menjual hasil hutan.
Namun Siapa menyangka bila warga suku terasing seperti suku anak dalam (SAD) di Jambi bisa menjadi prajurit TNI. Itulah yang terjadi di Jambi, dua orang SAD berhasil menjadi anggota TNI di satuan Batalyon Infanteri Rider 142/Ksatria Jaya di kawasan, Kasang, Jambi Timur, Kota Jambi.Kedua prajurit tersebut, yakni Prada Budi, warga Taman Nasional Kerinci Sebelat (TNKS) Bukit 12, Kabupaten Sarolangun, Jambi. Sedangkan Prada Yogi, warga Bungku, Kabupaten Batanghari, Jambi.
Keduanya adalah satu leting (angkatan) masuk anggota TNI, yakni pada pendidikan tahun 2016 lalu gelombang kedua. Namun, keduanya baru selesai pendidikan tahun 2017 lalu pada gelombang pertama.Ditemui di Mako Yonif Rider 142/Ksatria Jaya, Prada Budi yang berusia 20 tahun mengaku senang bisa menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Pria kelahiran 24 April 1998 itu bersekolah dasar di SD 191 Pemarang Kabau. Ia kemudian meneruskan sekolah ke SMP Satu Atap di Sarolangun, kemudian meneruskan di SMA Terbuka. Jujur saja saya bangga sudah bisa membuktikan jika warga suku terasing bisa menjadi prajurit, tapi lebih senang jika semua warga SAD ke depan bisa sejajar dengan warga lain pada umumnya,” dengan dirinya berhasil menjadi prajurit TNI, membuat Budi termotivasi mengajak rekan dan warga SAD lainya untuk masuk tentara dan profesi lainnya. ujarnya. Dengan bimbingan belajar tersebut, dia berharap anak-anak warga SAD bisa membaca dan menulis dengan baik. Dia juga berharap bisa menumbuhkan budaya belajar bagi anak-anak Orang Rimba.Semoga dengan bimbel ini menambah kemampuan mereka dalam membaca dan menulis, Kelak, mereka bisa mengabdi kepada nusa dan bangsa,” kata Budi.
Dari pengalamannya mengajar tersebut, dia melihat keinginan belajar anak-anak Orang Rimba sangat besar. Namun, mereka masih mengalami kendala dalam belajar. Salah satunya, peralatan belajar mengajar. Dan Kisah inspiratif yang dibawa Prada Budi dibagikan juga kepada anak-anak murid SD 1 Motaain Kabupaten Belu, Provinsi Nusa Tenggara Timur.Pengalaman masa kecil Prada Budi disampaikan untuk memotivasi serta mencerdaskan anak-anak yang tinggal di daerah perbatasan tersebut.
(Rendi Saputra, Mahasiswa Teknik Pertanian Universitas Jambi)