Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK) menegaskan perlu dilakukan pengecekan di Uni Eropa sebagai daerah tujuan ekspor terhadap produk kayu yang dikirim dari Indonesia. <p style="text-align: justify;">"Pemantauan itu untuk memastikan bahwa produk kayu yang dikirim tersebut adalah yang jelas asal-usul pemanenannya dan terjamin legalitasnya," tegas Ismail Arrasyid dari Yayasan Padi Indonesia, anggota JPIK di Balikpapan, Kalimantan Timur, Jumat (26/10).<br /><br />Menurut Ismail, hal ini berkenaan dengan pelaksanaan uji coba pengapalan (shipment test) produk kayu olahan dari 17 perusahaan Indonesia dan dilakukan di Pelabuhan Tanjung Perak di Surabaya, Pelabuhan Tanjung Emas di Semarang, Pelabuhan Tanjung Priok di Jakarta dan Pelabuhan Belawan di Medan.<br /><br />Imbauan JPIK untuk pemantauan ulang di Uni Eropa adalah karena keempat pelabuhan memiliki catatan buruk praktik bisnis hitam penyelundupan kayu bukan olahan (non-finishing) ke luar negeri.<br /><br />Kayu-kayu tersebut dimasukkan ke kontainer atau peti kemas sementara informasi dalam dokumen ekspor barang (PEB) dipalsukan. Misalnya dokumen menyebutkan isi kontainer adalah produk kayu olahan namun bila dicek kemudian ternyata isinya masih berupa kayu gelondongan atau kayu gergajian.<br /><br />"Padahal karena nilai tambahnya kecil, kayu bukan olahan tersebut tidak diperkenankan untuk diekspor," tegas Arrasyid.<br /><br />Kegiatan uji coba pengapalan itu mulai dilakukan pada 15 Oktober 2012 sampai dengan akhir November 2012 dengan tujuan ekspor 9 negara anggota Uni Eropa.<br /><br />Kegiatan pengapalan tersebut merupakan bagian dari hasil perundingan Indonesia-Uni Eropa dalam Forest Law Enforcement Governance and Trade (FLEGT), suatu kerja sama dalam penegakan hukum dan tata kepemerintahan di bidang kehutanan, dan perdagangannya.<br /><br />Kesepakatan itu mengharuskan semua produk kayu dari Indonesia harus lolos verifikasi Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK)untuk bisa diterima pasar Eropa.<br /><br />Sistem ini untuk melindungi dan melestarikan hutan dan plasma nuftah yang ada di dalamnya. Hanya kayu yang legal yang bisa mendapat barkode khusus SVLK.<br /><br />Itu artinya produk tersebut dibuat dari kayu yang ditebang dari blok tebang yang sah yang sudah dilaporkan sebelumnya dalam perencanaan penebangan perusahaan yang bersangkutan, dan perusahaan sudah membayar biaya-biaya yang menjadi kewajibannya, berupa pajak dan iuran kepada pemerintah.<br /><br />Di Kaltim produsen kayu yang sudah menerapkan ini adalah PT Balikpapan Forest Industry (BFI) yang memiliki konsesi penebangan di Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara. Di areal konsesinya tersebut, selain melakukan tebang pilih yang ketat, BFI juga melakukan penanaman kembali.<br /><br />Penerapan SVLK di sini dimulai dari tempat penumpukan kayu.<br /><br />SVLK telah dikembangkan sejak tahun 2003 melalui proses dengan melibatkan banyak pihak, baik di Indonesia maupun di Uni Eropa. SVLK berlaku wajib untuk semua produk kayu dan kayu dari hutan alam, hutan tanaman, hutan rakyat ataupun hutan kemasyarakatan.<br /><br />"Seluruh pelaku usaha di bidang kehutanan harus memenuhi kewajibannya SVLK seperti diatur regulasi Menteri Kehutanan P38/2009 dilanjutkan P68/2011, termasuk sesuai dengan tenggat waktunya.<br /><br />Pemerintah harus memastikan hal ini dan mengambil langkah tegas atas pelaku usaha yang tidak melaksanakan kewajibannya tersebut," tegas Abu Meridian, Dinamisator Nasional JPIK.<br /><br />Abu Meridian juga menegaskan bahwa pihak Uni Eropa selaku negara konsumen harus serius dalam memastikan produk kayu yang berasal dari Indonesia adalah benar dapat dipastikan dari sumber yang legal. Ini sebagai bentuk aksi dan komitmen tanggung jawab negara konsumen.<strong> (das/ant)</strong></p>