Pemerintah Kabupaten Kotawaringin Kalimantan Tengah diingatkan untuk mengantisipasi efek domino yang mungkin akan muncul saat kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) mulai diberlakukan. <p style="text-align: justify;">"Berbagai dampak pasti akan muncul, mulai dari masalah kenaikan harga kebutuhan, hingga kemungkinan bertambahnya angka kemiskinan. Efek domino seperti harus diantisipasi sejak dini agar tidak sampai terjadi, atau setidaknya masih bisa dikendalikan," kata Sekretaris Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Gerakan Anak Borneo, Gahara di Sampit, Sabtu.<br /><br />Aktivis yang getol menyoroti distribusi BBM di Kotawaringin Timur ini pemerintah daerah juga harus memikirkan munculnya dampak negatif yang mungkin muncul meski kenaikan harga BBM adalah kebijakan pemerintah pusat. Pasalnya jika tidak diantisipasi, maka justru pemerintah daerah yang akan direpotkan karena masyarakat di daerahlah yang merasakan dampak kenaikan harga BBM nantinya.<br /><br />Aparat penegak hukum juga harus melakukan langkah dengan memperketat pengawasan distribusi BBM di daerah ini. Jangan sampai ada pihak-pihak yang mengambil kesempatan untuk mendapatkan keuntungan dengan cara menimbun BBM dan menjualnya saat harga BBM dinaikkan nantinya.<br /><br />"Masalah seperti ini jangan dianggap remeh karena sangat mungkin terjadi dan justru kita di daerah yang akan merasakan dampaknya. Penegak hukum juga harus serius supaya penyimpangan BBM yang saat ini di tengara masih marak, malah bertambah parah menjelang dan sesudah harga BBM dinaikkan nanti," tandas Gahara.<br /><br />Terkait kebijakan pemerintah ingin menaikkan harga BBM, Gahara menyatakan dukungannya. Terlebih bagi Kotawaringin Timur, menurutnya, kebijakan itu sangat bagus untuk mengurangi aktivitas pelangsiran BBM karena berarti perbedaan harga antara BBM bersubsidi dengan nonsibsidi makin berkurang.<br /><br />Seperti diketahui, aksi pelangsiran (pembelian dalam jumlah besar untuk dijual lagi dengan harga tinggi) belum sepenuhnya bisa ditanggulangi aparat dan pemerintah daerah. Meski sudah menjadi rahasia umum dan ada pengawasan SPBU oleh aparat, namun kondisi ini terus berlangsung.<br /><br />Khusus untuk BBM jenis solar, para pelangsir diduga menjualnya ke industri karena keuntungannya lebih besar. Sedangkan premium dijual di eceran, termasuk dibawa ke pedalaman dan dijual lagi dengan harga tinggi.<br /><br />Selama masih ada perbedaan harga yang tinggi antara BBM bersubsidi dengan industri, maka aksi penyimpangan BBM akan terus terjadi dan pelangsir akan terus beraksi. Kalau harga dinaikkan sehingga akhirnya perbedaan harga antara BBM bersubsidi dengan BBM industri tidak terlalu jauh, maka pelangsir akan berkurang karena penghasilan mereka juga pasti berkurang, tandas Gahara.<br /><br />Saat ini harga premium di tingkat aceran di kawasan dalam kota antara Rp 6000 hinga Rp 7000 per liter, sedangkan solar bisa mencapai Rp 8000 per liter, jauh lebih mahal dibanding harga normal di SPBU yaitu Rp 4500 per liter. Namun harga eceran itu masih jauh lebih murah dibanding harga BBM industri yang belasan ribu rupiah per liternya, atau dua kali lipat harga BBM bersubsidi sehingga industri masih diuntungkan jika membeli dari pelangsir.<strong> (das/ant)</strong></p>