Dilema yang Tak Kunjung Usai, Dibalik Konflik Tragis Antara Palestina dan Israel

oleh
oleh

ARTIKEL – Salah satu konflik terpanjang dan rumit di dunia saat ini adalah konflik Palestina-Israel. Konflik ini telah berlangsung selama lebih dari 70 tahun, membunuh ribuan orang dan menyebabkan perpindahan penduduk yang berkelanjutan. Meskipun upaya perdamaian terus dilakukan, solusi akhir tampaknya masih jauh dari jangkauan, karena kedua belah pihak tetap mempertahankan hak atas tanah yang sama.

Sumber konflik ini dapat dilacak kembali ke awal abad ke-20, ketika gerakan Zionisme, yang mendukung pembentukan negara Yahudi di Palestina, muncul. Setelah Perang Dunia I, Inggris memiliki wilayah Palestina. Imigrasi massal orang Yahudi ke Palestina, didorong oleh tekanan dan kekerasan dari Eropa, menimbulkan ketegangan dengan penduduk Arab Palestina yang sudah lama menetap di sana

PBB mengusulkan pembagian Palestina menjadi dua negara pada tahun 1947: satu untuk orang-orang Yahudi dan satu lagi untuk orang-orang Arab Palestina. Meskipun orang Yahudi mendukung rencana ini, orang Arab Palestina menentangnya. Perang Arab-Israel pertama terjadi pada tahun 1948 ketika Israel mendeklarasikan kemerdekaan setelah Inggris mengakhiri mandatnya. Kekalahan Arab menyebabkan lebih dari 700.000 orang Palestina mengungsi ke Tepi Barat, Jalur Gaza, dan negara-negara Arab tetangga. Sejak saat itu, masalah pengungsi Palestina telah berkembang menjadi salah satu masalah utama dalam konflik, dengan generasi demi generasi Palestina hidup dalam kondisi yang sering kali memprihatinkan di kamp-kamp pengungsi.

Perang 1967 berikutnya membawa Israel menguasai wilayah Tepi Barat dan Jalur Gaza, serta Yerusalem Timur. Dunia internasional menganggap langkah ini melanggar hukum dan menimbulkan konflik baru. Meskipun ada upaya perdamaian seperti Perjanjian Oslo pada tahun 1993 dan 1995, Israel masih menduduki wilayah ini hingga hari ini.

Perjuangan kemerdekaan Palestina telah diwarnai oleh dua pemberontakan besar melawan pendudukan Israel. Yang pertama terjadi dari tahun 1987 hingga 1993, dan yang kedua terjadi dari tahun 2000 hingga 2005. Dalam kedua Intifada ini, demonstrasi massal, pemberontakan bersenjata, dan konflik kekerasan terjadi dari kedua belah pihak.

Serangan roket dan bom bunuh diri telah dilakukan oleh kelompok perlawanan Palestina, tekrmasuk kelompok militan seperti Hamas dan Jihad Islam, terhadap sasaran Israel. Di sisi lain, Israel telah melakukan operasi militer skala besar di wilayah Palestina, seperti invasi ke Jalur Gaza pada tahun 2008-2009 dan 2014.

Berkali-kali, dengan partisipasi komunitas internasional, termasuk PBB dan negara-negara besar, telah dilakukan upaya perdamaian. Namun, solusi akhir tampaknya masih jauh dari jangkauan, dengan berbagai masalah kompleks seperti status Yerusalem, penentuan batas wilayah, masalah pengungsi Palestina, dan keamanan Israel menjadi hambatan utama.

Selama bertahun-tahun, tujuan utama dalam proses perdamaian adalah gagasan solusi dua negara, yang mendukung pembentukan negara Palestina yang berdaulat di samping Israel. Namun, pelaksanaan ide ini masih menghadapi tantangan karena kedua pihak menuduh satu sama lain melanggar perjanjian.

Ribuan orang telah terbunuh dalam konflik Palestina-Israel, dan jutaan lainnya hidup dalam kondisi yang sulit di wilayah Palestina dan kamp pengungsi di negara-negara tetangga.

Konflik ini tidak hanya menyebabkan kematian dan penderitaan, tetapi juga merusak infrastruktur, ekonomi, dan kehidupan sosial di Palestina. Kondisi kemanusiaan di Jalur Gaza menjadi lebih buruk karena blokade Israel.

Semangka dianggap sebagai simbol dukungan bagi palestina yang terkena dampak konflik di jalur gaza, dan ini dimaksudkan untuk melindungi mereka dari ikatan digital.

Pada tahun 2023, perang antara Hamas dan Israel berlanjut, dan blokade militer Israel berpotensi menyebabkan bencana kemanusiaan di jalur gaza. Militer Israel bahkan memutus aliran listrik, membuat tempat pengungsian di jalur gaza tidak dapat menampung semua pengungsi.

Israel melakukan serangan pada lokasi penting seperti rumah sakit, sekolahan, dan masjid. Ini membuat wilayah gaza yang terkepung hampir hancur, dan pengiriman bahan bakar terhambat, menghalangi ambulans dan kendaraan medis untuk mencapai pasien.

Pada 13 Mei 2024, pasukan israel memperluas pengepungan mereka ke wilayah tepi utara gaza, sementara tentara dan tank israel terus maju ke kota Rafah di ujung lain kantung. Militer Israel mengklaim bahwa mereka telah membangun perlintasan perbatasan baru ke utara gaza dalam upaya untuk meningkatkan jalur bantuan.

Joe Biden, presiden Amerika Serikat, mengklaim akan melakukan gunjatan senjata jika hamas membebaskan para sandera.

Otoritas gaza mengatakan bahwa hampir 35 ribu orang tewas, termasuk warga sipil, termasuk anak-anak dan perempuan. Namun, Amerika Serikat mengatakan bahwa apa yang terjadi di gaza bukanlah genosida. Akibatnya, demonstrasi anti-israel terjadi di universitas-universitas terkemuka di AS, Eropa, dan Indonesia.

Jalur Gaza menunjukkan banyaknya korban dari konflik palestina-israel dan darah yang mengalir melaluinya. Karena banyaknya rudal yang menghantam jalur tersebut secara bertubi-tubi yang dapat menyebabkan trauma, perdamayan harus dilakukan.
(Ridho Tri Rokhandi, Mahasiswa Teknik Pertanian Universitas Jambi)