MELAWI – Belum adanya titik terang skema kepastian pembayaran hutang jangka pendek membuat APBD hingga saat ini belum juga bisa dijalankan. Pihak Legislatif enggan menandatangani berita acara asistensi APBD karena pihak Pemerintah yang belum memutuskan sumber yang jelas untuk membayar hutang jangka pendek tersebut didalam APBD 2018.
Ketua DPRD Melawi, Abang Tajudin kembali menyampaikan statmennya. Kali ini mengenai alasan mengapa pihak legislatif sangat ngoto agar pembayaran hutang jangka pendek kepada pihak ketiga harus dibayarkan di APBD 2018.
“Yang pertama didalam aturan ketatanegaraan kita, berkaitan dengan aset. Kalau masih aset dikuasai pihak ketiga artinya karena belum selesai proses serahterima dan pembayarannya, maka tidak bisa dihitung dan diimput oleh BPK dan di audit, jelas tidak bisa dijadikan aset. Itu akan menjadi persoalan. Itu proses administrasi dan proses aturan sesuai mekanisme yang ada,” ungkap Tajudin, Kamis (1/2).
Kemudian, lanjutnya, alasan yang kedua, semua hal yang berkaitan dengan hutang inikan wajib dibayar. Apalagi pelaksanaan kerja yang dilakukan pihak ketiga, ada sebuah perjanjian kontrak. Hutang yang menjadi persoalan oleh DPRD tersebut, hutang yang memiliki legalitas formal, legilitas hukum.
“Ada kontraknya antara kontraktor pelaksana dan pemerintah daerah yang diwakili para pengguna anggaran dan pimpinan di lapangan. Itu dalam nomenklaturAPBD tahun 2017 yang lalu. Tentu menjadi kewajiban pemerintah untuk melakukan pembayaran tersebut. Sampai saat inikan pihak eksekutif belum secara langsung menyamaikan skema pembayaran atau sumber pembayaran untuk pembayaran hutang jangka pendek itu tadi,” paparnya.
Kemudian, kata Tajudin, alasan yang ketiga, ini berkaitan dengan masyarakat, para pelaku ekonomi, berkaitan juga dengan urusan sosial di masyarakat. ini sangat berkepentingan dan semuanya berkaitan denganproses hajat hidup orang banyak.
“Oleh karena itulah DPRD, meminta kepada pihak eksekutif melalui saudara Bupati, agar proses gagal bayar, hutang jangka pendek tadi, harus ada langkah-langkah kongkrit untuk penyelesaiannya. Karena barang ini kalau tidak ada langkah kongkrit, akan menimbulkan persoalan hukum dan persoalan sosial. Makanya kami sangat ngotot,” ucapnya.
Tajudin mengatakan, bisa dibayangkan, jika kontraktor pelaksana terlambat tiga hari saja bekerja, sudah diberi denda. Sementara ketika pekerjaan sudah dilaksanakan, kenapa harus berlama-lama dibayar.
“Apalagi secara hukum, banyak beritaa acara pembayaran yang secara alur kas sudah diminta kepada DPKAD untuk melakukan pembayaran, namun ternyata sampai akhir tahun bahkan baru ke awal tahun baru lagi, proses tersebut tidak dibayarkan. Kalau ini bukan one prestasi, tapi sudah penipuan kalau orang patuh pada masalah hukum. Kalau sudah dikeluarkan berita acara pembayaran dan kwitansi, artinya dananya sudah tersedia di kas. Dalam bahasa ekonomi pasar, itu sama saja dengan memberi cek kosong. Inilah yang harus diselesaikan dan harus masuk dalam skema di APBD 2018,” paparnya. (Edi/KN)