Pemerintah daerah Kalimantan Tengah, khususnya pemerintah Kabupaten Kapuas diminta mengabadikan nama pejuang dari Anjir Serapat yang gugur saat serangkan Belanda 17 Desember 1945. <p style="text-align: justify;">Permintaan itu dari warga asal Anjir Serapat Kapuas, Kalteng, di antaranya akademisi Universitas Palangka Raya (Unpar) Prof Dr HM Norsanie Darlan MS PH dalam percakapan dengan Antara di Banjarmasin, Minggu malam.<br /><br />"Bagaimana cara pemerintah daerah agar nama dua pejuang asal Anjir Serapat (150 km timur Palangkaraya, ibu kota Kalteng) masing-masing Idris atau Diris dan H Amri diabadikan pada berbagai tempat, seperti nama jalan," ujarnya.<br /><br />Selain itu, lanjut Guru Besar pada perguruan tinggi negeri tertua di Kalteng tersebut, alangkah indahnya kalau dua pejuang dari Anjir Serapat (35 km barat Bajarmasin) yang gugur melawan Belanda, diusulkan menjaid pahlawan nasional.<br /><br />"Kami sebagai anggota kerukunan warga Anjir Serapat di pertantauan sudah beberapa kali mengadakan seminar, apakah di kota Banjarmasin dan Palangkaraya, terlebih menjelang 17 Desember tahun-tahun lalu," tuturnya.<br /><br />Hanya saja, lanjut mantan aktivis Iktan Pers Mahasiswa Indonesia (IPMI) tersebut, tanggapan pemerintah masih mengutamakan yang lain. "Padahal pertempuran ini bukan pertemuran lokal. Tapi pertempuan bersekala nasional," katanya.<br /><br />Karena, lanjut dosen pascasarjana Pendidikan Luar Sekolah (PLS) di Unpar itu, pejuang-pejuang pada 17 Desember 69 tahun silam tersebut tidak saja dari Kalteng. Tapi juga dari Jawa Timur (Jatim), Kalsel dan daerah lain.<br /><br />Sebagai contoh dalam pemberontakan 10 November 1945 yang kemudian menjadi Hari Pahlawan Nasional itu, Bung Tomo memerintahkan anggota tentaranya dari Surabaya untuk mengadakan perlawanan/pertempuran di berbagai daerah/kota di tanah air terhadap penjajah Belanda.<br /><br />"Berbagai daerah/kota di tanah air itu, termasuk kawasan pesisir Kalteng. Untuk mengabarkan, bahwa bendera kita adalah dwi warna Sang Merah Putih," tutur putra Indonesia kelahiran Anjir Serapat tersebut.<br /><br />"Selain itu, mengabarkan bahwa negeri kita tercinta ini bukan lagi negara jajahan Belanda atau Jepang. Tapi sudah merdeka, dan ada Presiden sendiri Bung Karno," lanjutnya.<br /><br />Ia mengungkapkan, untuk menyampaikan ke berbagai pelosok daerah di tanah air, salah satu utusan ke Kalimantan adalah Djaderie dan kawan-kawan (dkk), menggunakan perahu layar.<br /><br />"Dari ‘kota Pahlawan’ Surabaya tiga hari berlayar masuklah mereka ke Sungai Mentaya – Sampit, ibu kota Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim), Kalteng, dengan tujuan melawan penjajah yang ada di Asrama Tatas Banjarmasin (kina Komplek Masjid Raya Sabilal Muhtadin)," ungkapnya.<br /><br />Tapi oleh karena di Mentaya melayari sungai ini sampai ke kota Sampit, tidak terjadi pertempuran. Sebab tujuan mereka menghancurkan Asrama Tatas, namun sejumlah pemuda dari Sampit dan Samuda Kotim, ikut membawa perahunya masing-masing mengikuti rombongan Djaderie dkk itu.<br /><br />Sesampai di Bahaur Kabupaten Kapuas, Kalteng, mereka mendapat tambahan pejuang dan di Kuala Kapuas (ibu kota Kab Kapuas) perahu mereka tidak boleh bertambat, karena dijaga serdadu/tentara musuh.<br /><br />Kemudian mereka melanjutkan mendayung perahu ke Anjir Serapat. Sampai di Km 10 sekitar pukul 02.00 waktu setempat atau menjelang subuh Jumat 14 Desember 1945. Di tempat itu mereka menaiki rumah kepala desa bernama H Abubakar Bannang, dan di tempat itu pula terjadi interaksi bagaikan gayung bersambut.<br /><br />Pasalnya kepala desa itu sudah punya pasukan mantan tentara Jepang yang dilatih baik di Banjarmasin dan Balikpapan, Kalimantan Timur (Kaltim) maupun dan dari berbagai daerah lain.<br /><br />"Mereka pun bersepakat Sabtu 15 Desember 1945 mengikuti rombongan utusan Bung Tomo dari Surabaya itu menuju Banjarmasin untuk melumpuhkan tentara musuh di Asrama Tatas dengan pertempuran, terlebih mereka akan merampas gudang senjata musuh tersebut," ceritanya.<br /><br />Kesepakatan bersama antara rombongan utusan Bung Tomo, pejuang dari Sampit dan Samuda serta Bahaur ditambah para pejuang dari Anjir Serapat yang sangat banyak jumlahnya, menetapkan dinihari Minggu 16 Desember 1945 bersepakat pula dengan pejuang dari Kalsel yaitu Amuntai, Kandangan, Barabai, Martapura, Marabahan, Kotabaru, Pelaihari dan berbagai daerah lain.<br /><br />Namun sangat disayangkan pada jam 22.00 malam 15 Desember 1945 gudang senjata telah dikosongkan oleh tentara/serdadu musuh.<br /><br />Oleh karena gelagat pertempuran sudah tercium oleh pasukan musuh. Sebab mereka melihat grak-gerik pejuang yang berbeda dengan hari-hari lain. Sementara mereka tahui banyak pemuda tak dikenal mundar-mandir di sekitar Asrama Tatas itu.<br /><br />Sebelum jam yang ditentukan untuk menggempur tangsi (markas) musuh itu, sampailah bocoran bahwa jam 22 lalu gudang senjata yang diintai sudah dikosongkan, maka pemberontakan jam 02.00 dinihari 16 Desember 1945 ditangguhkan.<br /><br />Karena rencana pemberontakan untuk merebut senjata itu gagal. Mata-mata musuh sudah mencium, sebab ada pejuang yang tertangkap bahwa pusat perlawanan rakyat itu ada di Anjir Serapat.<br /><br />Kemudian Senin 17 Desember 1945 tentara Knil/Belanda berangkat menyerang Anjir Serapat dengan tujuan membumi hanguskan.<br /><br />Tepatnya pukul 10.30 pagi, saat Pasar Senin sedang berlangsung perahu yang cukup banyak disertai terusan Anjir Serapat sangat sempit kala itu, tentara KNILl membidik pemuda yang mendapat tugas mengamankan bendera Merah Putih yang telah mereka naikkan sejak Jumat dinihari 14 Desember 1945.<br /><br />Ketika pertempuran pukul 10.30 hingga 12.30 itu, dipihak tentara musuh tertembak yang dibrondong dengan timah panas dari perahu. Namun kurban tentara musuh itu segera dimasukkan ke ruang perawatan di kapal. Tentara musuh itupun naik pitam karena baru sampai anggota mereka sudah ada yang tertembak.<br /><br />Oleh karena itu, mereka (tentara KNIL) langsung menembaki orang-orang di sekitar tiang bendera Merah Putih. Maka korban pertama di pihak tentara pejuang RI adalah Idris dengan nama kecilnya Diris sebagai Syuhada dalam pertempuran tersebut, dimana para pejuang cuma dengan senjata seadanya.<br /><br />Sementara pengunjung pasar Senin ketika itu berlarian mencari perlindungan. Setelah Pasar Senin pedagang pasar sudah meninggalkan dagangannya, maka tentara musuh menggeladah dari rumah ke rumah penduduk, untuk mencari siapa penentang mereka.<br /><br />Tapi tidak mereka temukan. Karena para pejuang dengan barisan yang kuat berada pada tempat yang mereka siapkan. Namun sejumlah tentara musuh yang berasal dari Asrama Tatas Banjmarmasin itu, tidak berani mendekat ke lokasi itu, karena mereka penuh kehati-hatian kalau-kalau datang serangan mendadak.<br /><br />Sebab mereka tahu bahwa di Anjir Serapat sangat banyak penentang penjajah. Dan kerap kali di terusan ini terjadi perintang kapal penjajah.<br /><br />Dari pengeledahan dari rumah ke rumah mereka bertemu dengan rumah Haji Mastur. Serdadu musuh mengetahui di rumah itu ada pejuang. Senjatapun mereka muntahkan ke berbagai tempat termasuk ke dinding dan daun pintu dimana H Amri berlindung.<br /><br />Pintu mereka gedor, dan H Amri mengarahkan senjata laras pendeknya ke arah serdadu KNIL. Namun apa yang hendak di kata, timah panas dari musuh lebih dahulu menembus dada kiri dan kanannya.<br /><br />Dikarenakan sejumlah timah panas/peluru itu berserang di dadanya, warga Anjir Separat yang bernama Haji Amri pun tersungkur dengan bersimbah darah sampai tetesan darah yang paling akhir di rumah ayahnya sendiri.<br /><br />Kemudian para pejuang memancing arah ke perkebunan karet yang telah mereka rencanakan. Tapi serdadu musuh tidak mau terpancing. Mereka meneruskan perjalanannya ke Kuala Kapuas, ibu kota Kabupaten Kapuas, Kalteng.<br /><br />Permasalahannya sekarang kenapa dua pejuang, tidak pernah diabadikan pemerintah daerah setempat baik sebagai nama jalan maupun bangunan monomental lain, di sepanjang Anjir Serapat, dan kota-kota lain di Kalteng, termasuk di Kuala Kapuas sendiri.<br /><br />Padahal perjuangan rakyat itu, menurut dosen pascasarjana Pendidikan Luar Sekolah (PLS) Unpar tersebut, bukan lokal, tapi juga bernuansa nasional. Karena dalam pertemuran itu ada rombongan Djaderie dkk dari Surabaya.<br /><br />Selain itu, dari Samuda, Sampit, Bahaur, Mandomai dan Pulang Pisau (kesemua di Kalteng). Bahkan dari Kalsel di saat pertempuran berlangsung mereka juga turut bertempur.<br /><br />"Makam Pahlawan Surya Chandra di Km 10 Anjir Serapat, setelah W.A. Gara menjadi Gubernur Kalteng dalam minggu kedua, beliau meletakkan batu pertama pemugaran Makam itu. Yang hingga kini masih ada sebagai saksi sejarah," ujarnya.<br /><br />"W.A Gara, pemuda dari Desa Bundar Barito Selatan (daerah pedalaman Kalteng) itu, saat pertempuran berlangsung juga ada di dalam peristiwa bersejarah tersebut," ungkapnya mengenang peristiwa 17 Desember 69 tahun silam.<br /><br />Ia mengatakan, pengakuan kejuangan warga Anjir Serapat itu, ternyata ada pula yang datang dari kawasan Kaltim, provinsi yang masih bertetangga dengan Kalteng.<br /><br />"Mereka menyatakan, selamat berulang tahun ke-69 para pahlawanku. Perjuanganmu tatap kami ingat hingga sepanjang hayat," kutip Norsanie Darlan.<br /> (das/ant)</p>